Pita Hijau Tosca

oleh Arreza Hamsyah

Kisahku dalam Indonesia dan Pena. Hari yang cerah, mentari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur, kokokkan ayam serentak membangunkanku. Selepas sarapan pagi aku bergegas berangkat menuju sekolahku. Perjalananku menuju sekolah, menyusuri jalan yang diselimuti kabut tipis itu, aku seperti memasuki lorong-lorong masa silam yang sunyi dan mencekam. Desir angin menggugurkan dedaunan tua di ranting pohon. Menari gemulai di udara sebelum tersungkur ke bumi. Menatapku, seolah mendengar himne perjumpaan sayup-sayup sampai. Senin pagi yang dingin. Untunglah lelaki tua itu selalu mengenakan seragamnya. Di sebuah taman di sekolahku, aku putuskan untuk duduk sejenak setelah memarkir motorku. Duduk di bangku semen yang penuh coretan tangan-tangan iseng. Aku nikmati suasana di depan mata sembari menata napas. Sepasang kekasih belia tampak gembira, mereka saling bercengkrama, entah apa yang mereka bicarakan, namun yang kubaca adalah cerita awal tahun ajaran. Banyak juga yang duduk menghampar di rerumputan, mereka yang sibuk dengan kegiatan awal tahun ajaran. Sesekali melintas satu dua orang di depanku, dilatari horison timur yang mulai memerah. Seorang wanita berwajah teduh yang telah lama hilang ditelan waktu, tiba-tiba menjelma di pelupuk mataku. Si lelaki tua mendesah haru. Di taman itu, setahun lalu, aku pernah menitipkan kenangan. Kini aku datang lagi, tapi dengan penuh kesadaran bahwa aku tak mungkin menggenggamnya kembali. Aku hanya ingin bernostalgia dengan kawan lama, seperti membuka-buka album foto usang di telepon genggamku.

Saat ku mulai bosan dan matahari pun mulai menyorotku dengan sinar panasnya, dari kejauhan kulihat seorang gadis melangkah mendekati sebah kursi kosong di taman ini. Garis tubuhnya yang langsing menyiratkan bahwa ia memilki paras cantik. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena ia berjalan lurus tanpa menoleh. Dengan langkah anggun ia menuju kursi itu. Ia mengenakan pita berwarna hijau tosca, mengingatkanku pada seseorang yang sangat menyukai warna itu. Tiba-tiba batinku berdesir mendapati punggung gadis itu yang sedang duduk mencakung di sana. Aku duduk tepat di belakang gadis berpita hijau itu. Seketika saja sosok itu mengingatkannya pada seseorang dari masa lalu. Dua langkah menjelang kursinya aku berdehem, seakan ingin menyadarkan lamunan gadis itu bahwa ada orang lain di dekatnya. Benar saja Si gadis menengok ke arah sumber suara. Detik itu juga, ketika beradu pandang, dua manusia tercekat. Wajah Si gadis pucat. Bibir ku pun ikut bergetar. Meski keringat dingin menghias wajah dan sekujur tubuhku.

Waktu 5 menit membelenggu kita dalam kebekuan, hingga akhirnya sahutan dari temanku mengakhiri awal cerita indah ini. Sampai pulang sekolah pun aku masih terus membayangkannya, memikirkannya, dan memimpikannya dalam tidur siangku. Sebuah tanda tanya besar yang hingga saat itu, karena aku belum bisa mengenal sepenggal kata dari namanya. Sempat malam itu aku berdoa kepada Tuhan, “Ya Tuhan jika memang dia jodohku, maka dekatkanlah kami dalam ridho-Mu, namun bila bukan maka jangan jauhkan kami hingga memutus tali silaturahmi”.

Seminggu berselang aku masih melihatnya mengenakan pita hijau itu, walau masa orientasi itu telah berlalu. Terakhir kulihat dia ketika kami berpapasan di kantin. Seraut wajah indahnya masih membujukku untuk mengenalnya.

Sebuah mukjizat datang ketika ujian akhir semester tiba. Kami dipertemukan dalam sebuah ruang ujian, dan takjubnya kami pun duduk dalam satu meja. “Inikah doaku yang terkabul ?” sempat diriku bertanya kepada Tuhan dan kepada diriku sendiri. Aku tak menyangka jika waktu setengah tahun terlewat begitu saja, sampai akhirnya pengaharapanku selama itu seolah menjadi nyata.

Kami pun sempat terlibat dalam sebuah percakapan

“Hay…namamu siapa ?” tanyaku kepada gadis berpita hijau itu.

“Hay juga, namaku Vinnie…”

“Kenalkan, namaku Arreza, salam kenal ya”

Kami bagaikan sepasang manusia yang tampak salah tingkah, meredakan gelombang gelisah. Tangan kananku sempat mencekal sandaran bangkunya, seolah menopang dirinya, padahal itu trik dariku untuk menghalau rasa gugup.

Riuh ramai suasana itu terasa ngilu, bercampur haru, juga rindu. Hingga saat pulang ujian dia sempat menanyakan beberapa hal mengenai diriku.

“Kak Arreza, aku boleh tanya sesuatu tidak ?”

“Oh iya, silahkan”

“Aku boleh minta nomor handphone kakak ?”

Dengan gugup dan terbata-bata aku menjawabnya

“Ini dik, 085723974005”

“Ok makasih ya kak, hati-hati di jalan kak”

“kembali kasih dik, hati-hati di jalan juga ya, salam untuk keluarga di rumah”

Dengan senyum berbinar aku perlahan meninggalkannya. Sejak itu aku mulai optimis perpisahan ini adalah awal langkahku untuk bersamanya.

Hari demi hari silih berganti, detik pun terus bergulir, aku punterus menyimpan hasrtaku untuk kembali bertemu dengannya dan mengenalnya lebih dekat lagi. Tapi apa mau dikata, cukup lama aku berpuasa bertemu dengannya.

Hingga pada suatu hari, setelah terhitung 6 bulan berlalu sejak pertemuan ujian itu, saat aku sedang mengerjakan tugas, tiba-tiba handphone ku berbunyi. aku tak menyangka sebelumnya jika ternyata gadis berpita hijau yang bernama Vinnie itulah yang mengirim pesan singkat. Isi pesan tersebut bernada bahwa dirinya ingin mengenalku lebih dekat, menurutnya diriku telah lama mempesonakannya, sejak awal pertemuan di awal tahun ajaran itu. Aku shock, segera ku tinggalkan tugasku, dan bergegasku pergi ke rumah temanku, dia adalah Armando, teman akrabku di SMA yang sangat baik. Di rumah Armando aku menceritakan fakta yang terjadi, semula Armando tidak mempercayai hal itu, jelas saja karena selama aku mulai terpesona dengan gadis berpita hijau itu, aku selalu menceritakan perasaan dan juga perkembangan kisahku kepadanya.

Malam berikutnya bagaikan malam-malam penuh mimpi, bagaimana tidak, setiap malam aku selalu berbalas pesan singkat dengan Vinnie walau malam telah melarutkan aku dengan rasa lelahku. Sebuah janji di akhir pesan singkatnya, dia menawarkanku untuk dapat saling bertemu kembali dan bercakap bersama.

Suatu ketika di sekolah, sebelum aku bertemu Vinnie, aku sempat sejenak bertemu dengan salah seorang teman kelasku, dia adalah Vicky. Vicky adalah teman seperjuanganku, ketika kami masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Awalnya hingga saat itu aku selalu menilai bahwa Vicky adalah teman yang baik. Namun saat itu, wajahnya berubah seolah menggambarkan paras deburan ombak yang siap menghantam senyumku ketika itu. Detik-detik sebelum aku bertemu dengan Vinnie, dia sempat memberi pernyataan, “Berusahalah untuk mengakui fakta suatu saat kelak”.

Pernyataannya pun terngiang lama hingga aku bertemu dengan Vinnie. Rasa gemetar semula hinggap dalam benakku, aku merasa ada atmosfer yang kurang menyenangkan saat aku bercengkrama dengan Vinnie. Kemudian, aku memutuskan untuk pergi dengan alasan yang sedikit kurang masuk akal. Kami hanya berinteraksi selama 5 menit, entah apa yang membuatku tiba-tiba menyudahi pertemuan yang sangat langka itu. Namun yang jelas ada sebuah kerikil yang telah membuatku tersandung dalam perjalanan asmaraku kali itu.

Selang 1 minggu kemudian, aku mulai menyadari bahwa aku tak mungkin berlama-lama memendam perasaaan lama ini. Malam harinya ketika itu memang sedang turun hujan, dan aku pun tidak bisa bersantai di beranda luar rumahku. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap berada di kamar. Hati kian berdebar saat berulang kali aku mencoba menyatakan cinta kepada Vinnie Si gadis bersyal hijau tosca itu. Berulang kali aku mengirim pesan singkat, namun isinya hanya pertanyaan yang menurutku monoton. Ketika hujan reda, aku bernjak dari kamarku untuk menju beranda, suasana di bernda sangat sejuk. Dan mungkin karena suasana yang membuatku merasa meiliki kepercayaan sangat tinggi ketika itu. Kemudian tanpa berpikir lama, aku mulai membuat ancang-ancang untuk menyatakan persaan cintaku kepada Vinnie. Aku pun tersenyum lebar ketika telepon dari di sambut dengan salam yang hangat oleh Vinnie. Aku mulai dengan sebuah puisi romantic, yang menggambarkan perasaan hatiku kala itu. Vinnie sempat tertawa, itu yang kudengar dari handphone ku. Hingga saat yang kutunggu tiba, aku menyatakan cinta itu dengan nada perlahan, lembut, dan mendayu.

“Vin, aku telah lama suka, dan aku pun telah lama cinta kamu”, singkatku mengenai perasaan ini.

“oh ya ?, kamu yakin ?” Tanya Vinnie.

“Ya, aku yakin 100%, maukah kamu menjadi pacarku?” dengan gemetar aku katakana itu.

“emm, mungkin kamu perlu mengetahui terlebih dahulu, bahwa aku juga telah lama menyukaimu, tapi situasi kini mungkin sangat rumit sekali”

“memangnya ada apa dengan situasi saat ini”

“seharusnya, mungkin kita akan bersama andai saja kamu bisa bergerak cepat menyatakan hal ini”

“aku merasa, aku telah menemukan waktu yang tepat”

“tapi sayangnya, aku kini telah bersama dengan yang lain, mungkin cukup aneh, ketika tadi pagi aku masih menyendiri menantikan kehadiran pendamping, namun kini aku telah bersama kekasihku”

Dengan terkejut aku meyakinkan pernyataan Vinnie, “kamu serius, ini bukan mimpi kan ?, sebentar, aku harus mendengar ini sekali lagi, aku merasa ini semua bohong dan hanyalah mimpi”.

“benar za, ini kenyataan pahit yang mungkin kamu terima, karena sesunggguhnya aku tidak mungkin menerima 2 cinta dalam satu hati, aku kini telah berpacaran”

“tidak, tidak mungkin, ini semua bohong, bohong”, dengan berlinang air mata aku tutup handphone ku.

Aku tak menyangka bahwa ternyata aku harus menerima kenyataan pahit ini, perasaan yang telah lama kujaga, dan juga kuhias dengan anggrek taman hati ini seolah terbakar, dan tak bersisa lagi. “Oh tuhan, mungkinkah ini jalanku, yang telah kau takdirkan untukku ?”.

Aku masih kebingungan dengan kenyataan pahit ini. Selama ini dia, gadis berpita hijau tosca itu selalu memiliki medan magnet yang kuat yang bisa membuatku terbuai. Malam itu aku berubah menjadi orang terbodoh di dunia

Keesokan harinya aku mulai cerita baru di sekolah, namun aku masih merasakan jika cerita baru ini adalah sambungan dari cerita lalu. Saat pulang sekolah aku dan Vinnie tak sengaja berpapasan di tempat parker. Dia meminta maaf secara langsung kepadaku perihal kejadian semalam. Namun obrolan kami sempat ternoda ketika ternyata Vicky, kekasih Vinnie tiba-tiba datang dan dia langsung mencengkram tangan Vinnie.

“hay Za, kamu ingin bertengkar denganku” sbuah kalimat yang dilontarkan Vicky dengan nada penuh emosi.

“maaf, aku tidak sengaja bertemu kekasihmu”

“aku telah mendengar, bahwa kamu sudah lama memendam rasa cinta kepada Vinnie, akui saja itu. Tapi sayangnya kamu harus mengubur itu dalam dalam, karena aku tak akan melepas Vinnie, bahkan terkontaminasi oleh kata katamu, sigh”

“hey, sudah buat apa kalian beradu mulut, hari ini panas sekali sudahlah kita pulang” sahut Vinnie kepada kami.

Dan aku pun memutuskan untuk mengambil langkah terlebih dahulu. Mungkin aku malu, tapi mungkin juga aku marah atas semua ini. Sekali lagi aku menceritakan hal ini kepada Armando, dia memang sangat baik kepadaku. Dia sempat memberikan nasihat kepadaku bahwa sebenarnya cinta adalah sebuah kelebihan yang pasti didapat oleh semua orang, namun untuk mengetahui cinta itu kita tentunya membutuhkan waktu yang setiap orang tak sama.

Sejak itu aku mulai mengerti, apa itu hikayat cinta yang selama ini didengungkan oleh para pujangga cinta. Dan wajarlah jikalau setiap manusia adalah pengembara cinta. Aku menyadari bahwa kisahku dengan gadis berpita hiaju tosca itu adalah sebuah anugerah, aku mungkin tak kan mengenal seberapa besar perjuangan mendapatkan cinta, jika tuhan tak mentakdirkan aku seperti ini.

Hari-hari berikutnya aku lalui dengan penuh ketenangan, aku pun sempat berbicara langsung kepada Vinnie dan kepada Vicky, bahwa aku benar benar tak akan dendam dan kecewa. Aku berjanji untuk tampil professional, mengakui kenyataan, karena itulah sebenmarnya hakikat seorang lelaki sebenarnya. Selamat tinggal kenangan terindah, selamat jalan gadis berpita hijau tosca, semoga kita sama-sama bahagia walau di jalan yang berbeda. Ini warna hidup, yang harus dijalani, kisah yang kutulis dalam bingkai Indonesia dan pena.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

Sample Widget